Penerjemah

English French German Spain Italian Dutch
Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Bapak proklamator

Bapak proklamator
Ir. Soekarno

Sejarah Kota Bertambang

Jumat, 18 November 2011

Asslammu’alaikum….
Semoga para Blogger sejati tidak jenuh melihat Blog saya……..Karena Blog saya kelihatannya kurang menarik dan masih pemula jadi mohon maaf isinya banyak tidak nyambung…
Setalah Beberapa hari lalue saya sudah mengulas beberapa sejarah Kota yang terletak di Kalimantan Selatan, Cekidot sekarang kita langsung saja ke Kabupaten Tanah Bumbu yang terkenal dengan Batu baranya yang luar biasa dan sejumlah sejarah tentang kota ini….





Kabupaten Tanah Bumbu adalah salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Ibukota kabupaten ini terletak di Batulicin. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 5.066,96 km² dan jumlah penduduk sebanyak 267.913 jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).

Kawan-kawan seperjuangan di sini ada beberapa Sejarah tentang tanah Bumbu…

SEJARAH
Daerah Kabupaten Tanah Bumbu termasuk dalam kawasan Tanah Bumbu yang lebih luas atau wilayah Kalimantan Tenggara. Sejak dahulu kala wilayah tenggara pulau Kalimantan bukanlah daerah tidak bertuan karena daerah ini juga sudah dihuni oleh penduduk asli Kalimantan, menurut Hikayat Banjar penduduknya terdiri orang Satui, orang Laut Pulau, orang Pamukan (Dayak Samihim) dan orang Paser maupun orang-orang Dayak Bukit yang tinggal di pegunungan Meratus. Orang Pamukan dan orang Paser masing-masing memiliki pemerintahan kerajaan sendiri-sendiri. Di daerah Cantung terdapat sebuah lesung batu (yoni) yang menunjukkan adanya pengaruh agama Hindu memasuki wilayah ini pada jaman dahulu kala. Sebelum terjadinya migrasi suku Bugis ke wilayah ini, seluruh wilayah tenggara Kalimantan dibawah koordinator Aji Tunggul, penguasa Paser yang menjadi bawahan Sultan Banjar IV Mustain-Bilah/Marhum Panembahan. Pada abad ke-17 Sultan Banjar menguasai Kalimantan Tenggara untuk diperintah keturunannya yaitu Pangeran Dipati Tuha dengan nama Kerajaan Tanah Bumbu dengan wilayah awal mulanya meliputi daerah dari Tanjung Silat]] sampai Tanjung Aru (batas wilayah Banjar dengan Paser). Sebelum berdirinya Kerajaan Tanah Bumbu pada pertengahan abad ke-17 (sebelum adanya Perjanjian Bungaya), Sultan Makassar meminjam tanah Paser sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah, sewaktu Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud, yaitu Sultan Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654 maka dipinjamkanlah Tanah Paser beserta wilayah timur dan tenggara Kalimantan lainnya sebagai tempat berdagang bagi Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo)[2], dengan demikian mulai berdatanganlah suku-suku dari Sulawesi dengan bukti adanya makam Islam tertua dari seorang putri dari suku Mandar yang bernama Nyai Galih.
1660-1700, Orang Pamukan atau Suku Dayak Samihim dahulu telah memiliki kerajaan sendiri yaitu Kerajaan Pamukan yang telah dihancurkan oleh suatu serangan dari luar dengan bukti sisa-sisa pemukiman mereka terdapat di Tanjung Kersik Itam. Setelah kejadian tersebut, orang Pamukan/Dayak Samihim meminta kepada Sultan Banjar untuk mendirikan pemerintahan (kerajaan) untuk mengamankan wilayah tersebut dan untuk mengantisipasi banyaknya pendatang dari luar memasuki daerah tersebut maka Pangeran Dipati Tuha (Raden Basus) putera Sultan Saidullah ditunjuk sebagai raja membawahi wilayah antara Tanjung Silat sampai Tanjung Aru yang dinamakan Kerajaan Tanah Bumbu dengan pusat pemerintahan di sungai Bumbu termasuk dalam Daerah Aliran Sungai Sampanahan. Pangeran Dipati Tuha kemudian digantikan puteranya Pangeran Mangu sebagai Raja Tanah Bumbu dan seorang putera lainnya Pangeran Citra menjadi sultan negeri Kelua. Pangeran Mangu (1700-1740) kemudian digantikan putrinya, yaitu Ratu Mas. Ratu Mas (1740-1780) menikahi seorang pedagang dari Gowa bernama Daeng Malewa yang bergelar Pangeran Dipati; pasangan ini beranak Ratu Intan I, sedangkan dari selir Daeng Malewa berputra Pangeran Prabu dan Pangeran Layah 1780, Kerajaan Tanah Bumbu dipecah menjadi wilayah selatan di bawah pemerintahan Ratu Intan I (keturunan Pangeran Dipati Tuha) yang dikenal sebagai Ratu Cantung dan Batulicin dan wilayah utara yang berpusat di Sampanahan di bawah pemerintahan Pangeran Prabu bergelar Sultan Sepuh. Ratu Intan I menikahi Sultan Anom dari Paser tetapi perkawinan ini tidak menghasilkan keturunan. Sedangkan Sultan Anom dengan selirnya memiliki keturunan yaitu Pangeran Haji Muhammad/Maj Pangeran, Andin Kedot, Andin Girok dan Andin Proah. Pangeran Layah menjadi penguasa Buntar Laut, ia memiliki kerurunan Gusti Cita dan Gusti Tahora.
1733, Puana Dekke meminjam tanah dekat muara sungai Kusan kepada Sultan Tahlilullah yang dinamakan daerah Pagatan. Dan pada tahun 1750 suku Bugis meminjam tanah kepada Sultan Banjar untuk mendirikan koloni di Tanjung Aru. Tahun 1775, La Pangewa (Kapitan Laut Pulo), selaku kapitan orang Bugis-Pagatan menggantikan Puana Dekke dan kemudian ia juga direstui oleh Sultan Tahmidullah II sebagai raja pertama Kerajaan Pagatan, karena jasa-jasanya menggempur Pangeran Amir - Raja Kusan I. Pangeran Amir atau Sultan Amir menyingkir ke Kuala Biaju untuk meminta bantuan suku Dayak Dusun dan Bakumpai di Tanah Dusun. Pada tahun 1785, Pangeran Amir anak Sultan Kuning dibantu Arung Tarawe menyerang Tabanio dengan pasukan 3000 orang Bugis-Paser berkekuatan 60 buah perahu untuk menuntut tahta Kesultanan Banjar dari Tahmidullah II. Pada tanggal 14 Mei 1787, Pangeran Amir (kakeknya Pangeran Antasari) ditangkap Kompeni Belanda, kemudian diasingkan ke Srilangka.
13 Agustus 1787, Sultan Tahmidullah II dari Banjar menyerahkan kedaulatan Kesultanan Banjar kepada VOC menjadi daerah protektorat dengan Akte Penyerahan di depan Residen Walbeck, setelah VOC berhasil menyingkirkan Pangeran Amir, rivalnya dalam perebutan tahta. Sebagian besar Kalimantan menjadi properti perusahaan VOC.
1788, Sultan Dipati Anom Alamsyah menjadi Sultan Pasir III sampai tahun 1799. Sultan ini menikahi Ratu Intan I, yaitu Ratu dari Tjangtoeng dan Batoe Litjin.
1789, kedaulatan atas daerah Pasir dan Pulau Laut diserahkan VOC kembali kepada Sultan Banjar, Tahmidullah II.
4 Mei 1826/(26 Ramadhan 1241 H), Sultan Banjar (Sultan Adam al-Watsiq Billah), menyerahkan wilayah tenggara dan timur Kalimantan beserta daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
1844, Kasus Sebuli – Batulicin yaitu perompakan yang menyebabkan pertikaian Daeng Manggading yang dibantu Raja Pagatan dan Raja Sabamban dengan Aji Pati (Raja Bangkalaan) yang dibantu Pangeran Meraja Nata penguasa Batulicin, mengakibatkan rumah-rumah orang Bugis di Batulicin dibakar.
Pada tahun 1844, distrik-distrik dalam onderafdeeling van Tanah Boemboe yaitu Pagatan, Kusan, Batulicin, Cantung dengan Buntar Laut, Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul dan Cengal. Pada waktu itu distrik Pulau Laut belum dibentuk. Tahun 1845, Pulau Laut dan Batulicin berada di bawah pemerintah Kusan.Penguasa Kusan kemudian pindah ke pulau Laut, dan akhirnya divisi Kusan digabung dengan Pagatan. Sabamban dibentuk belakangan. Wilayah kabupaten Tanah Bumbu hari ini merupakan gabungan wilayah bekas distrik (swapraja) pada masa kolonial Hindia Belanda tersebut, yaitu Batoe Litjin, Koessan, Pagatan dan Sabamban, serta Distrik Satui (tahun 1889 Satui masih merupakan bagian dari Afdeeling Tanah Laut). Jadi Kerajaan Pagatan hanya salah satu dari banyak kerajaan yang ada di Tanah Bumbu maupun Kalimantan Tenggara.
Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No.8

Sejarah Masyarakat Bugis Di Kabupaten Tanah  Bumbu

 

 

Puanna Dekke, Nenek Moyang Orang Bugis dari Wajo

 

Kota Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan,  mayoritas penduduk berasal dari suku bugis dari Sulawesi dengan tradisi dan kekayaan budaya yang tetap terjaga. Wartawan koran ini pun berusaha menelusuri jejak sejarah kedatangan masyarakat bugis di Pagatan.

Karyono, Pagatan

Penelusuran pun di mulai di wilayah yang terletak sekitar muara Sungai Kusan, Kecamatan Kusan Hilir. Di sini terdapat situs sejarah, yakni makam raja-raja Pagatan dan Kusan. Berbekal keyakinan, di zaman dulu letak makam pastilah berada dekat dengan pusat kerajaan, wartawan koran ini pun bertanya-tanya dengan warga sekitar, adakah keturunan raja-raja tersebut yang masih bisa ditemui.
Ternyata informasi mengarah pada Andi Jaya, ia adalah Kepala Desa Kampung Baru Kecamatan Kusan Hilir, Pagatan. Andi merupakan cicit dari Raja Pagatan terakhir, Andi Sallo Aroeng Abdoerahim bin Pangeran Moeda Mandi Arifbillah Radja Tanah Bumbu. Ayah Andi Jaya adalah Haji Andi Usman dan kakeknya M Djabir Ali.
Di rumahnya yang sederhana, zuriat raja bugis ini pun menerima dengan hangat kedatangan wartawan koran ini. Begitu disampaikan maksud kedatangan adalah untuk mengetahui sejarah asal mula masyarakat bugis di Pagatan, ia pun mengeluarkan sejumlah catatan sejarah, foto-foto lama dan ia pun segera mengenakan pakaian adat bugis, seperti yang dikenakan para raja bugis dalam foto-foto lama.
Andi Jaya pun mulai menuturkan cerita tentang asal mula kedatangan nenek moyangnya di Pagatan, berdasarkan Lontora (catatan harian, Red) dari Kapitan La Mattone, ia adalah seorang Menteri Kerajaan Pagatan dan Kusan. Sejatinya, Lontora tersebut ditulis dalam bahasa dan huruf bugis, namun sekarang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Lontora itu ditulis oleh La Mattone di Pagatan pada bulan Jumadil Awal hari Jum’at tahun 1357 Hijiriah (21 Agustus 1868 M).
Dalam tulisan itu dinyatakan, tentang asal mula Pagatan dibuka (dibangun) oleh Puanna Dekke, pedagang dari Tanah Bugis (Daerah Wajo), yang juga kakek Raja Pagatan yang pertama bernama La Pangewa atau Kapiten Laut Pulo.
"Puanna Dekke berlayar untuk mencari pemukiman. Sehingga sampai menjumpai muara sebuah sungai yang cukup menarik di hatinya, tidak lain adalah muara sungai Kusan," ujar Andi Jaya.
Di tempat itu memang sudah ada satu dua penduduk asli yang tinggal. Puanna Dekke pun mengetahui wilayah tersebut masuk dalam kekuasaan kerajaan Banjar. Maka bertolaklah ia ke pusat Kerajaan Banjar untuk menemui Raja Banjar Panembahan Batu atau Sultan Kuning bin Sultan Tahlilullah, Raja Banjar ke-VIII pada tahun 1734. Kepada penambahan Batu, Puanna Dekke menyampaikan maksudnya untuk bermukim di daerah tersebut.
“Oleh Panembahan Batu akhirnya diizinkan untuk tinggal, dengan syarat sanggup mengeluarkan biaya karena daerah tersebut masih merupakan hutan belantara dan menjadi tempat persinggahan orang jahat,” terangnya.
Puanna Dekke menyanggupi persyaratan tersebut. Hingga terjadi ikrar bersama secara lisan antara Panembahan Batu dengan Puanna Dekke.
Pada suatu saat terjadilah peristiwa, di mana Pangeran Muhammad Aminullah Ratu Anom bin Sultan Kuning melakukan blokade, dengan menghalang-halangi dan menahan perahu-perahu perdagangan yang masuk, dengan mengganggu lalu lintas muara Sungai Kusan.
“Mendengar hal itu, Puanna Dekke memerintahkan La Pangewa menemui Panembahan Batu untuk melaporkan perihal tersebut. Mengingat Pangeran Muhammad adalah kerabat Kerajaan Banjar," tambahnya.
Namun oleh Panembahan Batu Sultan Kuning, La Pangewa justru diberi tugas untuk menggempur Pangeran Anom. Setelah digempur, Pangeran Ratu Anom mengundurkan diri ke Kuala Bijayo (sekarang Kuala Kapuas).
Saat itulah, La Pangewa di anugerahi gelar Kapiten Laut Pulo (Pulau Laut), oleh Panembahan Batu atas jasanya berhasil mengalahkan Pangeran Anom, Pagatan diserahkan kepada La Pangewa, kemudian diwariskan kepada anak cucunya. Inilah cikal bakal berdirinya kerajaan Pagatan. Beberapa nama raja-raja Pagatan adalah Nama raja-raja Pagatan La Pangewa (1755-1800) ia adalah Raja Pagatan I yang diberi gelar Kapitan Laut Pulo oleh Panembahan Batu (Sultan Banjar). Kemudian La Palebi (1830-1838) – Raja Pagatan II, La Paliweng (Arung Abdulrahim) (1838-1855) – Raja Pagatan III.  Kemudian di masa Raja La Matunra (Arung Abdul Karim) (1855-1863) – terjadi penggabungan dua kerajaan, yakni Pagatan dan Kusan. Karena Pangeran Djaja Soemitra anak dari Pangeran M Nafis yang menjadi Raja Kusan IV tahun 1840-1850, pindah ke Kampung Malino dan menjadi Raja Pulau Laut I (wilayah Kotabaru sekarang) pada tahun 1850-1861. Sejak itu pemerintahan Kerajaan Kusan digabung dengan Kerajaan Pagatan. Selanjutkan tahta kerajaan Pagatan dan Kusan diwarisi La Makkarau (1863-1871), Abdul Jabbar (1871-1875), Ratu Senggeng (Daeng Mangkau) (1875-1883), H Andi Tangkung (Petta Ratu) (1883-1893) dan raja terakhir adalah Andi Sallo (Arung Abdurahman) (1893-1908).






Geografis

Secara geografis Kabupaten Tanah Bumbu terletak di antara 2°52’ – 3°47’ Lintang Selatan dan 115°15’ – 116°04’ Bujur Timur. Kabupaten Tanah Bumbu adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan yang terletak persis di ujung tenggara Pulau Kalimantan, memiliki luas wilayah sebesar 5.066,96 km2 (506.696 ha) atau 13,50 persen dari total luas Provinsi Kalimantan Selatan.
Batas-batas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu adalah:

Kecamatan di Kabupaten Tanah Bumbu

Saat ini beberapa Kacamatan Di Tanah Bumbu terdapat 10 kacamatan .
1.      Angsana
2.      Batulicin
3.      Kuranji
4.      Kusan Hilir
5.      Kusan Hulu
6.      Mentewe
7.      Satui
8.      Simpang Empat
9.      Sungai Loban



SUKU BANGSA
Suku bangsa yang ada di daerah Kabupaten Tanah Bumbu antara lain:
1.      Suku Banjar
2.      Suku Dayak Bukit
3.      Suku Bugis
4.      Suku Mandar
5.      Suku Jawa
6.      Suku Bali
7.      Suku Sunda
9.      Suku Batak

Lagu Daerah

Lagu daerah dari kabupaten ini antara lain:

0 komentar:

Posting Komentar